Dosen (Tidak) Cinta Indonesia

Tugas seorang peneliti yaitu mencari jawaban atas permasalahan yang terjadi sehingga pada tulisan ilmiahnya di bagian awal dituliskan research problem atau rumusan masalah yang nantinya akan di jawab pada bagian berikutnya dengan berbagai pendekatan dan metode peneltian yang bisa digunakan oleh peneliti. Masalah yang diangkat oleh peneliti bisa di ambil dari berbagai tempat tidak terbatas pada dimana penelitia berada. Selama memiliki kompetensi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan metode yang telah diakui maka penelitian bisa dilaksanakan.

Dihampir semua kampus penelitian ini wajib dilakukan oleh semua mahasiswa dan menjadi prasyarat sebelum akhirnya diberikan ijazah tanda sudah menyelesaikan pendidikan. Dibeberapa kampus bahkan penelitian tersebut harus dipublikasikan agar hasil penelitian bisa ditelaah oleh lebih banyak orang. Ditingkat pendidikan tertinggi yakni doktoral, publikasi merupakan suatu kewajiban dan hampir disetiap kampus (untuk tidak menyatakan semua kampus) publikasi yang disyaratkan adalah publikasi internasional.

Publikasi internasional yang dimaksud bukan penerbit atau publisher yang berasal dari luar negeri melainkan publisher yang sudah dirangking oleh lembaga yang khsusus menilai kualitas suatu tulisan dengan kriteria yang ditetapkan. Basis data yang sering dijadikan rujukan adalah Scopus yang dimiliki oleh perusahaan penerbit informari ilmiah bernama Elsavier, perusahaan berkantor pusat di Amsterdam Belanda. Cara rangking yang dilakukan Scopus yaitu dilihat seberapa banyak suatu jurnal tersebut dikutip oleh tulisan ilmiah yang lain. Semakin sering dikutip maka reputasinya semakin bagus. Levelnya terdiri dari Q1 (quartile 1), Q2 (quartile 1), Q3 (quartile 1) dan Q4 (quartile 1).

Lebih dari ratusan ribu jurnal yang didata oleh Scopus yang telah melewati proses peer review dan memenuhi standar tertentu dalam hal kualitas dan relevansi. Dari ratusan ribu jurnal tersebut menurut data daru Direktori Jurnal Ilmiah Indonesia (DIKTI) pada tahun 2020 hanya sebanyak 927 jurnal. Pada tahun 2022 terdapat 50 jurnal baru yang masuk terindeks Scopus dan tentu bertambah lagi pada tahun 2023 dan tahun 2024 ini yang pastinya secara jumlah berkisar diangka dibawah 100 jurnal. Dari data tersebut artinya sebanyak 90% lebih jurnal yang terindeks scopus berasal dari luar Indonesia. Dengan kata lain ketika peneliti Indonesia memiliki tulisan yang akan dipublikasi, pilihannya lebih banyak berada di jurnal yang berasal dari luar Indonesia.

Masalah muncul ketika peneliti ingin publikasi tulisannya ada yang dinamakan author fee atau publication fee atau biaya yang harus dibayar apabila tulisan tersebut sudah mendapatkan letter of acceptance (LOA) yang menunjukkan artikel tersebut diterima dan layak diterbitkan. Biasanya pada LOA tersebut pun disebutkan kapan artikel tersebut diterbitkan karena jurnal terindeks scopus tidak mungkin menerbitkan setiap bulan. Pada saat membayar author fee maka peneliti menggunakan mata uang negara jurnal yang dituju dan sebagian besarnya tentu menggunakan mata uang internasional yaitu dollar. Jumlah dollar yang harus dibayar beragam dimulai dari $100 sampai lebih dari $5.000 per artikel. Memang ada juga beberapa jurnal terindeks scopus tidak menerapkan author fee alias gratis tapi tentu tingkat kesulitan untuk masuk ke jurnal tersebut relatif lebih sulit dan publikasinya hanya satu tahun satu kali. Sedangkan peneliti dikejar deadline untuk segera menerbitkan atau mahasiswa yang membutuhkan cepat berkaitan dengan masa studi.

LLDIKTI Wilayah VI dalam situsnya menyebutkan dosen yang berjabatan fungsional Asisten Ahli sebanyak 4.471 dosen, Lektor 5.094 dosen, Lektor Kepala 1.054 dosen dan Guru Besar 182 dan dosen tanpa jabatan 4.418 dosen. Apabila ditotal yang memiliki jabatan fungsional saja berjumlah 10.801 dosen dan apabila semua dosen berjabatan fungsional tersebut mempublikasikan masing-masing satu artikel ke jurnal terindeks scopus dengan biaya $100 maka rupiah Indonesia yang pergi keluar sebanyak $1.080.100 atau senilai Rp. 14.041.300.000. Itu hanya jika menggunakan LLDIKTI Wilayah VI saja sedangkan di Indonesia terdapat 16 LLDIKTI. Bayangkan betapa besarnya peneliti Indonesia yang katanya mencari solusi atas masalah yang dihadapi Indonesia malah menyumbangkan devisa kepada negara lain dan memunculkan masalah baru seperti penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain, defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa, ketergantungan pada pasokan valuta asing dan lain sebagainya.

Suatu kontraproduktif dilakukan oleh orang-orang yang disebut sebagai orang “pintar” di negara ini. Mereka sering mengatakan stop melakukan impor, gunakan produk lokal, support para penjual dalam negeri tetapi disisi yang lain uang yang dia dapatkan dari negara Indonesia dia “belanjakan” agar tulisannya dinilai kredibel dengan publikasi di jurnal terindeks scopus. Adapun nasib dari publisher dalam negeri karena susah bersaing semakin hilang atau minimal susah hidup karena hanya menerima “recehan” sisaan scopus. Itu baru bersaing dengan scopus, di dunia terdapat Web of Science (WOS), Pubmed, IEE Xplore, EBSCOhost, ProQuest dan yang lainnya dan memiliki basis data yang juga tidak sedikit. Sudah saatnya sebuah solusi itu bukan hanya berada pada tulisan saja tetapi sebuah aksi nyata yang dapat dirasakan segera dan dirasakan oleh orang banyak. Semoga pihak pembuat keputusan memilki kesadaran mengenai dosa ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *